Selasa, 26 Juli 2011

Orang Beriman Menyambut Ramadhan


altSenyuman di wajah orang-orang beriman terpancar tatkala ramadhan semakin dekat menghampiri. Tamu mulia dan agung ini datang dengan memberikan banyak kebahagiaan kepada orang beriman, bagaimana tidak, saat jiwa yang telah kelelahan mengejar dunia, kini ramadhan datang  untuk membersihkan hati-hati mereka dengan nuansa ibadah yang begitu kental serta dijanjikan dengan berlipat ganda pahala untuk bekalan mereka menuju akhirat, bahagia karena jiwa-jiwa yang berlumuran dosa akan kembali disucikan dengan taubat nasuhah, bahagia karena memang jiwa-jiwa orang beriman membutuhkan bekalan tambahan berupa  kekuatan iman yang extra untuk menghadapi beratnya kondisi kehidupan, kekuatan ruhiyah yang mampu membuatnya bertahan dan tetap optimis melangkah di jalan yang benar, bahkan menjadi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat islam untuk keluar dari kondisi berat yang mereka hadapi, maka ramadhan selalu datang pada saat yang tepat untuk menjadi hiburan bagi orang-orang beriman.
Bulan ini disebut tamu agung, karena banyak peristiwa agung yang pernah terjadi di dalamnya, diantaranya: Nuzulul Quran, Perang Badar, turunnya wahyu pertama di Gua Hira, meninggalnya paman Nabi tercinta, Abu Thalib, serta istri beliau Khadijah pada tahun ke-10 kenabian,  mulainya diwajibkan Zakat Fitrah pada tahun ke-2 Hijriyah, dimulainya persiapan perang khandak pada tahun ke-5 hijriyah, peristiwa penaklukan kota Mekah atau Fathu Makkah yang terjadi pada tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah, Perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijriyah, dan masih banyak lagi peristiwa yang agung lainnya terjadi pada masa awal dakwah Islam dan setelahnya, bahkan kemerdekaan bangsa Indonesiapun terjadi pada bulan ramadhan.
Bulan ini disebut tamu istimewa karena keistimewaan yang dikhususkan padanya, seperti: Lailatul Qadr, yaitu nilai ibadah yang lebih baik dari pada seribu bulan saat orang beriman beribadah pada malam itu, bulan dilipat gandakannya pahala, amalan sunah dihitung sebagai pahala wajib, umrah pada bulan ini mendaatkan pahala sebagaimana haji bersama Rosulullah, dll.
Maka agar keagungan dan keistimewaan ramadhan dapat dirasakan, kemudian dapat dimanfaatkan dengan baik dan optimal, maka selayaknya setiap orang beriman mempersiapkan diri untuk menyambutnya.
Hal yang biasa dilakukan jika seseorang ingin menyambut tamunya, dia akan mempersiapkan dirinya, merapikan ruang tamunya, bahkan mempersiapkan makanan yang juga istimewa untuk disediakan buat tamunya.
 Apalagi  ini adalah tamu agung dan sangat istimewa, yang akan selalu bersama di rumah kita selama satu bulan lamanya. Maka tentu persiapannya bukanlah persiapan biasa-biasa saja, maka akan sangat tidak wajar jika  seorang yang akan kedatangan pejabat saja, ia begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak merasa malu, sedangkan dengan kedatangan ramadhan dia biasa-biasa saja.
Lalu apa yang perlu kita persiapkan untuk menyambut ramadhan ini?
Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan agar kita mampu mengisi bulan yang penuh berkah ini dengan kegiatan yang dapat menambah bobot umur kita ketika kita menghadap Allah SWT.
Pertama, Persiapan Individu
Ini adalah persiapan yang paling utama kita lakukan, secara individu kita harus mempersiapkan kedatangan bulan ini secara optimal, karena persiapan ini akan mempengaruhi baik tidaknya kita mengisi amaliah ramadhan. Di antara persiapan individu yang harus kita lakukan adalah:
a.       Persiapan Rohani, ini adalah persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor penggerak segala bentuk ibadah kita, baik sebelum, ketika dan setelah ramadhan. Rasulullah mempersiapkan diri beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu dengan melaksanakan puasa sya’ban. Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.  Bahkan para salafus shalih berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa pasca Ramadhan selama 6 bulan agar ibadah mereka diterima”.
b.      Persiapan Ilmu, agar ibadah kita benar dan sesuai dengan tuntunan Rosulullah maka kita harus memahami ilmunya, untuk itu kita harus membaca dan menelaah buku-buku yang berbicara tentang puasa agar kita dapat mengetahui syarat dan rukun puasa serta hal-hal yang dapat membatalkan serta menghilang nilai puasa, serta banyak permasalahan puasa yang perlu mendapat penjelasan lebih dalam dari ulama dan pakar syariah, tentang hal-hal yang sering terjadi menyangkut ibu hamil dan menyusui yang tidak dapat berpuasa, orang tua yang sakit, serta tentang permasalahan ilmu kedokteran yang ada hubungannya dengan ibadah puasa.
c.       Persiapan Jasmani, tubuh adalah salah satu komponen yang penting dan harus kita persiapkan dalam menyambut bulan ramadhan, karena tanpa jasmani yang sehat kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah puasa, membaca Al-Quran, sholat tarawih dan qiyamullail. Menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan salah satu modal penting dalam melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda, ”Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari mu’min lemah dan keduanya adalah baik”.
d.      Persiapan Akhlak dan Moral, Agar puasa pada ramadhan tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya, sehingga sampai kepada puasa Khawaasul Khawash seperti pembagian Imam Ghazali, yaitu puasanya di dunia karena karena Allah, ia menjaga kepala dan apa yang dibawahnya, menjaga perut dan apa yang di sekelilingnya dan mengingat mati serta apa yang terjadi setelah kematian, menjadikan orientasi hidupnya adalah akherat. Sehingga terhindar dari apa yang disampaiakn oleh Rosulullah, “Berapa banyak orang yang puasa namun mereka tidak mendapatkan dari puasa mereka kecuali lapar dan haus” (HR.Thabrani, Ahmad dan Baihaqi).
Diantara hal yang harus dijaga dari saat ini adalah:
1.       Menjaga penglihatan dan menghindarinya dari obyek yang tidak baik. Rasulullah saw bersabda,”Penglihatan adalah panah dari panah beracun iblis”.
2.       Menjaga lisan dari perkataan yang bathil dan tdk bermanfaat. Rasulullah saw bersabda, ”Apabila kalian sedang berpuasa janganlah berkata dengan perkataan kotor (keji) dan janganlah melakukan perbuatan tercela, apabila ada orang yang menghina katakan kepadanya bahwa saya sedang puasa”(HR. Muttafaq ‘alaihi). Rasulullah saw, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong maka Allah tidak menperdulikan ibadah puasanya” (HR. Ibnu Majah).
3.       Menjaga pendengaran dari hal-hal yang bathil, seperti ghibah, serta hal-hal yang diharamkan lainnya.
e.      Persiapan Materi, Dari Abi Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersumpah tidak ada bulan yang paling baik bagi orang beriman kecuali bulan Ramadhan, dan tidak ada bulan yang paling buruk bagi orang munafik kecuali bulan Ramadhan, dikarenakan pada bulan itu orang beriman telah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam beribadah dan sebaliknya orang munafik sudah bersiap diri untuk menggoda dan melalaikan orang beriman dari beribadah” (HR.Imam Ahmad).
Para ulama menjelaskan maksud hadits ini ”dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri untk berkonsentrasi dalam beribadah” adalah: Hal itu dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri dari sisi materi untuk memberikan nafkah kepada keluarganya karena mereka ingin konsentrasi beribadah, sebab memperbanyak Qiyam lail menyebakan mereka harus banyak tidur di waktu siang dan memperbanyak I’tikaf menyebabkan mereka tidak bisa untuk beraktifitas di luar masjid, hal ini semua menyebabkan mereka tidak bisa untuk melakukan aktifitas mencari nafkah, maka itu mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datang bulan Ramadhan agar mereka dapat berkonsentrasi beribadah serta mendapatkan keutamaan bulan yang mulia ini”.
Dari kitab Shahihain Ibnu ‘Abbas ra berkata ”Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadan ketika berjumpa dengan Jibril untuk bertadarus Al-Quran, kedermawanan Rasulullah ketika itu bagaikan angin yang berhembus”. Maka tanpa persiapan dari sisi materi kita tdk akan mampu mencontoh dan mengikuti kedermawanan Rasulullah saw.     
Kedua, Persiapan Lingkungan Masyarakat
Lingkungan adalah faktor yang penting dalam menyiapkan diri menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan, sebab lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung proses pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan.   Di antara hal yang perlu di lingkungan kita adalah:                      
1.       Rumah, ia adalah lingkungan yang paling utama dalam kehidupan seorang, maka sebagai orang beriman harus mengkondisikan tempat tinggal kita agar dapat menunjang kekhusuan amaliah ibadah kita selama bulan Ramadan. Di antara hal yang harus kita perhatikan dalam mengkondisikan rumah adalah TV, karena TV merupakan media utama pengganggu kekhusuaan ibadah kita, dan akan menghabiskan waktu kita sia-sia dari membaca Al-Quran dan ibadah lainnya.
2.       Tetangga, hal ini dapat kita lakukan dengan berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat baik Ketua RT dan RW untuk bahu membahu saling mengingatkan bersama-sama mempersiapkan diri menyambut ramadhan serta saling menjaga kekhusuan selama beribadah di bulan ramadhan.
3.   Masjid dan Mushalla, tempat ibadah juga harus kita siapkan dalam menyambut bulan suci Ramadan, baik dengan cara mengadakan pembersihan serta merapikan di bagian dalam dan di luar tempat sholat, karena dengan masjid dan musholah yang bersih dan rapi serta fasilitas yang memadai akan menambah kekhusuan ibadah tarawih dan I'tikaf bagi orang-orang yang beribadah di sana.
4.   Kantor, tempat bekerja juga  mempunyai peranan yang sangat penting dalam dalam menyambut dan mengoptimalkan ramadhan, karena sebagian besar hari-hari yang dilalui oleh masyarakat perkotaan adalah di kantor. Perkantoran juga dapat mengisi kegiatan ramadhan dengan kajian keilmuan yang bermanfaat bagi karyawannya, seperti ceramah agama setelah sholat zhuhur yang mengupas permasalahan puasa atau permasalahan umum lainnya dengan menghadirkan para ustadz. Atau juga melakukan tadarus Al-Quran di antara para karyawan. Sehingga kantor tersebut juga mendapat keberkahan.
5.    Pasar, agar pelaksaan ibadah selama ramadhan tidak terganggu dengan kesibukan di pasar, keperluan rumah tangga hendaklah mulai disiapkan seperlunya, karena biasanya kebutuhan dan harga meningkat menjelang ramadhan.  Serta harus menjadi kesadaran bagi para pedagang, terutama bagi mereka yang menjual makanan untuk santap siang, untuk juga dapat menghormati kaum muslimin yang berpuasa dengan mengubah jadwal jualannya setelah sholat asar dan setelah tarawih, sehingga nuansa ramadhan juga terlihat bukan hanya di masjid namun juga di pasar. Perlu diyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah, jadi ketika ia menghormati orang yang berpuasa insya Allah keberkahannya akan semakin bertambah.
Wallahu'alam bishowab.
Zulhamdi M. Saad, Lc
 source : http://www.ikadi.or.id/

Selasa, 05 Juli 2011

ADAB DAN BEKAL MENUNTUT ILMU TERHADAP DIRI SENDIRI



Sungguh telah dipahami bersama , bahwa menuntut ilmu agama adalah fardhu ‘ain (kewajiban bagi setiap pribadi) bagi tiap muslimin. Maka saat ini dampak dari kesadaran yang tinngi terhadap kewajiban tersebut ada disetiap lapisan masyarakat.

            Hal ini patut kita dambakan dan kita syukuri kepada Allah . Ini terlihat di berbagai instansi , di setiap daerah terdapat dan tumbuh subur majelis-majelis taklim yang dipenuhi oleh generasi muda, orangtua maupun remaja.

            Namun , sungguh tidak sedikit yang kita dapati dari hasil menuntut ilmu, praktik-praktik keseharian yang bertentangan dengan ilmu yang didapatnya. Ilmu yang mereka dapatkan kemarin, hari ini sudah lupa. Hari ini mendapat kajian ilmu, beberapa hari sudah tak ingat, tak berbekas lagi. Banyak pula yang mengaku ahlus sunnah justru menjadi penentang sunnah dan memperolok-olokkannya.

            Sungguh yang demikian ini menunjukkan tidak berkahnya ilmu yang didapat lantaran ketidaktahuan tentang landasan ilmu syar’i dan kurangnya adab dalam menuntut ilmu itu sendiri.

            Oleh karena itu, pokok dari setiap perkara yang diperintahkan untuk dipahami dan dihayati : bahwasannya “ILMU ITU IBADAH”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam majmu’ fatawa-nya X hal 11-13,15 & XI hal 314 , mengatakan : “ILMU ADALAH IBADAH.”
            Berkata sebagian ulama bahwa : Ilmu adalah shalat yang tersembunyi dan merupakan ibadah hati.           

            Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid , dalam Hilyah Thalabil ‘ilmi : “Maka orang yang menuntut ilmu hendaknya mempunyai adab terhadap dirinya”.
Adapun adab yang harus diperhatikan, diantaranya :           

1. Ikhlasun Niyyati lillahi ta’ala (Niat ikhlas hanya untuk Allah)      

Allah telah berfirman :           

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah (beribadah) kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”        

            Begitu juga dalam hadits al Fardhi al Masyhur dari amirul mukminin , Umar bin Khaththab , bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda :   

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya” (HR Bukhari & Muslim)       

            Maka sesungguhnnya dari keikhlasan niat ini dapat menyebabkan (keberkahan) ilmu dan pengalihan kedudukan keutamaan taat dari serendah-rendahnya penyimpangan. Tidak ada yang lebih menghancurkan ilmu seperti halnya riya’. (lih. Tahdzibul Atsar 2 hal 121-122, At Thabari)

Contohnya , melalui ucapan : “Aku telah tahu dalam masalah ini” dan “aku telah hapal ini”. Tujuannya agar didengar dan diakui oleh orang lain (sehingga dipuji). 

            Dengan dasar ini, maka bersungguh-sungguhlah dalam menghindar dari semua yang merusak niatmu dalam menuntut ilmu yang benar, meonjolkan diri diantara teman sebaya (seangkatan) , menjadikan ilmu tsb sebagai sarana untuk kebendaan , sesuatu yang tidak kekal seperti kedudukan , harta benda , kebesaran , atau biar dipuji , mencari perhatian manusia. Maka sungguh yang semisal itu jika merubah niat maka rusaklah niat itu dan hilanglah berkah ilmunya.

            Maka tamassuk (berpegang teguh) lah kamu sekalian dengan al urwatul wutsqo (tali yang kuat) yang menjaga dari perusak niat, agar kamu menjadi sangat takut dari pembatal-pembatal keikhlasan , yakni dengan mencurahkan kesungguhan dalam keikhlasan yang disertai dengan rasa membutuhkan yang amat sangat dan pasrah kepada Allah.           

            Sungguh , ikhlas adalah kata yang mudah diucapkan , namun amat sukar dilaksanakan, sehingga Sufyan bin Said Ats Tsaury berkata : “Tidak ada suatu yang lebih menyulitkanku dari pada niatku”. Maka hendaklah berusaha dan berdoa kepada Allah Azza wa jalla.       

2. Mahabatullahi wa Mahabbatu Rasulihi (Cinta kepada Allah dan RasulNya)       

            Realisasinya adalah dengan memurnikan ittiba€ ¦’² (mengikuti) atsar Rasulillah shalallahu alaihi wa sallam. Sungguh Allah ta€ ¦’²ala telah berfirman :     

            “Katakanlah (hai Muhammad) jika kamu mencintai Allahmaka ikutilah aku , niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran :31)

            Kedua bekal dan adab diatas hendaknya ditempatkan kedudukannya sebagai mahkota dalam diri seseorang.           

            Wahai orang yang menuntut ilmu , kamu adalah orang-orang yang duduk bersimpuh untuk belajar dan yang amat mulia yaitu thalabul ilmi. Maka , aku wasiatkan kepadaku dan kepada kamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah dalam keadaan sembunyi (sendirian) ataupun terang-terangan (dihadapan banyak orang) .Takwa ini merupakan persiapan , dan dari takwa ini terdapat keutamaan-keutamaan yang merupakan faktor pendorong kekuatan bagi tingginya
derajat. Takwa merupakan pengikat hati yang amat kuat dari fitnah-fitnah yang ada , maka janganlah kamu lalai .           

3. Mulazamatu Khasya (Konsisten dalam takut kepada Allah)         

            Hiasilah senantiasa rasa takut kepadaNya baik dalam terang-terangan maupun dalam sembunyi. Tetaplah dalam penjagaan syariat Islam , menampakkan sunnah-sunnah serta menyebarkannya dengan cara mengamalkan dan mengajak orang lain untulk melaksanakannya. Bersaikaplah satria , hendaklah memudahkan dan tidak menyulitkan serta berpola laku yang shalih . Semua ini bisa diraih dengan khasy-yatullah.          

Imam Ahmad berkata : “Asas ilmu adalah takut kepada Allah (Khasy-yatullah)     

            Sebaik-baik mahluk yang melata di bumi ini adalah orang yang takut kepada Allah dan tidaklah seseorang takut kepada Allah kecuali orang yang alim (ulama). Namun ingatlah bahwa yang dimaksud alim adalah orang byang dengan ilmunya itu beramal , dan tidaklah orang itu beramal kecuali didasari dengan khasy-yatullah.       

4. Dawamul Muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah) 

            Hendaknya penutut ilmu selalu merasa diawasi oleh Allah dalam segala keadaan dan dimana saja berada dalam rangka berjalan menuju Allah dengan hati antara khauf (tajut) dan raja’ (berharap) . Keduanya bagaikan sayap bagi seekor burung. Sehingga tidak bisa hilang salah satunya . Maka hadapkan dirimu kepada Allah keseluruhan. Penuhi hatimu dengan muraqabah , basahi bibirmu selalu dengan dzikir kepada-Nya dan selalu merasa senang dengan hukum-hukum Allah dan hikmah-hikmahNya.         

5. Rendah hati dan Tidak sombong   

            Berbekalah dengan adab nafsi dengan selalu menjaga diri, santun, sabar, tawadhu’ demi kebenaran , ketenangan , rendah hati. Dalam hal seperti ini engkau membawa beban belajar demi mulianya ilmu, dalam keadaan merendah diri demi kebenaran.Maka hati-hatilah dari berlaku sombiong . Sungguh telah sampai kepadamu kaum salaf yang begitu hati-hati dari prilaku sombong.

6. Jadilah mengikuti jejak salafus sholeh (orang-orang yang terdahulu)       

            Hendaknya kita menjadi salafi yang benar-benar, yaitu menelusuri jalannya orang-orang terdahulu dari kalangan shahabat Rasul shalallahu alaihi wa sallam, yang allah telah ridha kepada mereka , jalannya orang-orang generasi setelah shahabat yang selalu mengikuti jejak mereka dalam permasalahan agama, baik dalam masalah aqidah , ahlak , dan keseluruhan manhaj. Berpegang teguhlah dengan sunnah Rasul Shalallahu alaihi wa sallam, tinggalkanlah jidal (berdebat) tanpa ilmu , jauhi tebak-menebak tanpa ilmu , serta tinggalkan keasyikan pada ilmu kalam.


La Adri At Tilmidzi   

Umar bin Abdul Aziz berkata :          

“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)

Diambil dari mailing list salafiyyin@yahoogroups.com
Message: 9        
Date: Sat, 16 Apr 2005 05:44:39 -0700 (PDT)
From: La Adri <>
Subject: Adab dan bekal menuntut ilmu

Peran Ilmu Dalam Kehidupan Sehari-hari


                 
Penulis: Ustadz Zuhair Syarif
Aqidah, 30 - Juli - 2003, 01:23:47
                 
Bumi tanpa cahaya matahari akan hampa dan kehidupan akan binasa. Begitulah ibarat hati manusia, tanpa cahaya ilmu hati akan sakit dan mati. Di dalam hati seorang yang sakit, terdapat dua kecintaan dan dua penyeru. Kecintaan terhadap syahwat-syahwat, mengutamakannya dan semangat untuk  melampiaskannya. Terdapat hasad, sombong, bangga diri, suka popularitas dan suka membuat kerusakan di muka bumi dengan kekuasaannya.


Dia akan diuji di antara dua penyeru kepada Allah dan Rosul-Nya serta negeri akhirat dan penyeru kepada kenikmatan dunia yang fana. Maka dia akan menjawab seruan itu mana yang paling dekat dengannya.


Seorang yang hatinya mati, dia tidak tahu tentang Rabb-nya, tidak menyembah-Nya, tidak mencintai apa yang dicintai-Nya dan tidak mencari Ridlo-Nya. Tetapi dia hanya menurti ambisi syahwat walaupun di sana akan mendatangkan kemarahan Rabb-Nya. Dia tidak peduli apakah Rabb-Nya ridlo atau murka yang penting dia telah melampiaskan syahwat dan keinginannya.

Rasa cinta, takut, pengharapan, keridloan, kemarahan, pengagungan, dan kerendahan dirinya diperuntukkan kepada selain Allah. Jika cinta, benci, memberi dan tidak memberi karena hawa nafsunya. Hawa nafsunyalah yang paling dia utamakan dan paling dia cintai dibanding keriloan maulanya (Allah Ta’ala). Maka jadilah hawa nafsu sebagai pimpinannya, syahwat sebagai penuntunnya, kebodohan sebagai pengemudinya dan lalai sebagai kendaraannya.

Sebagai hati yang disinari oleh cahaya ilmu dan disirami sejuknya ilmu, penyakit-penyakit yang berkarat di dalam hati akan terkikis dan sirna, jadilah hati tersebut bersih, sehat dan selamat.

Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang selalu menyelisihi perintah dan larangan Allah, selamat dari setiap syubhat yang merancukan wawasannya, selamat dari kesyirikan dan selamat dari berhukum kepada selain Rosul-Nya.

Dia selalu mengutamakan keridhoan-keridhoan Rabb-Nya dengan segala cara. Rasa cinta, tawakal, taubat, takut, pengharapan dan amalannya ikhlas hanya untuk Allah. Jika dia cinta,bmemberi dan tidak semuanya karena Allah Ta’ala. Seorang yang mempunyai hati inilah yang selamat pada hari kiamat. Allah berfirman : “Pada hari yang tidak bermanfaat harta tidak pula anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat” (Q.S Asy-Syu’ara : 88 – 89). (lihat Kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqo min Ighotsatil Lahafan fi Mashoyidis Syaithon karya Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziah dengan tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Hal 33 – 37).


Demikian keadaan hati yang tidak disinari dan hati yang selalu disinari dan disirami cahaya ilmu. Jelaslah bahwa ilmu itu sebagai obat penyakit yang ada pada dada manusia. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepada kalian, pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus : 57).


“Maka Mauidlah (pelajaran/ilmu) sebagai obat dari kebodohan dan penyelewengan hati. Sesungguhnya kebodohan itu adalah penyakit, obatnya adalah bimibngan’. Demikian penafsiran al Allamah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Rahimahullah (lihat Kitab Mawarid hal 45).

Dengan ini wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, budak maupun orang merdeka untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Al-Mizzy).

Kemudian apa sebetulnya yang dimaksud engan ilmu yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits tentang keutamaan dan kedudukan orang yang mengilmuinya ? Al Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani rahimahullah menafsirkan ayt yang dibawaka oleh Al-Imam Bukhori dalam shohihnya “Bab Keutamaan Ilmu” :“Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu” (QS Thoha : 114)

Beliau (Ibnu Hajar) berkata : “Ini dalil yang sangat jelas tentang keutamaan ilmu, karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi-Nya Shalallahu’alaihi wasallam untuk meminta tambhan kecuali tambahan ilmu. Maksud ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, yang berfaedah memberi pengetahuan apa yang wajib atas setiap mukallaf (muslim dan muslimah yang baligh) tentang perkara agama,ibadah dan muamalahnya. Ilmu mempelajari tentang Allah dan sifat-sifatnya dan apa yang wajib dia lakukan dari perintah-Nya serta mensucikannya dari sifat-sifatnya dan apa yang tercela. Poros dari semua itu adalah ilmu tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Fiqh” (lihat Kitab Fathul Baari Syarah Shohih Bukhari 1/40).

Maka ilmu yang wajib kita pelajari adalah ilmu yang mempelajari tentang Allah, Rasul-Nya, Agama-Nya dengan dalil-dalil (lihat kitab Al-Ushuluts Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahab bin Sulaiman Bin Ali At-Tamimi Rahimahullah hal 1-3).




      Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url
      sumbernya.
      Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=169

Menggapai Kebahagiaan Dengan Ilmu



Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan takdir dan hikmah-Nya telah menciptakan dunia dan seisinya ini sebagai tempat persinggahan sementara bagi manusia. Agar mereka mampir sebentar, untuk mengambil perbekalan ilmu dan amal menuju kebahagiaan akhirat yang kekal abadi. Oleh karena itu tidaklah Allah menyediakan bumi beserta fasilitas yang lengkap ini, melainkan sebagai sarana penunjang ibadah.

Begitu pula Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan tujuan untuk memakmurkan bumi ini dengan peribadatan hanya kepadaNya semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada malaikat yang artinya :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.”Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”.”Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al Baqarah : 30-32)
Peristiwa diciptakannya manusia merupakan peristiwa besar dan memuat hikmah yang sangat agung. Di dalam ayat tersebut terkandung padanya beberapa faedah ilmu:

Pertama, Bahwasanya Allah Ta’ala menolak pernyataan para malaikat : “Bagaimana Dia (Allah) menjadikan manusia di muka bumi, padahal kami lebih taat dibandingkan mereka? Maka Allah menjawab : “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa-apa yang kalian tidak ketahui.” Allah menjawab pertanyaan mereka bahwasanya Dia lebih mengetahui inti permasalahan dan hakekat (diciptakannya manusia). Dan Dia maha Mengetahui lagi maha Bijaksana. Sesungguhnya jelas bagi Allah bahwa khalifah yang diciptakanNya adalah dari kalangan makhluk yang baik, para rasul, para nabi, hamba-hamba-Nya yang sholeh, orang-orang yang mati syahid, orang-orang yang jujur, ulama serta generasi orang yang memiliki ilmu dan iman yang lebih baik dari para malaikat. Begitu pula jelas bagi Allah bahwa iblis adalah makhluk yang paling jelek di alam ini. Sehingga Allah mengusirnya dari syurga. Sedangkan para malaikat tidak memiliki pengetahuan tentang perkara tersebut (yaitu tentang penciptaan dan menetapnya nabi Adam di muka bumi dengan keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Kedua, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menampakkan keutamaan Adam akan ilmu dan membedakan dengan mereka (para malaikat) dengan ilmu, maka Allah mengajarkannya seluruh nama-nama. Allah bertanya kepada para malaikat : “Kabarkan kepadaku nama-nama mereka jika kalian memang benar”. (Al Baqarah : 31).

Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa mereka (para malaikat) mengatakan : “Tidaklah Allah menciptakan seorang makhluk pun yang lebih mulia daripada kami. Mereka menyangka bahwasanya mereka lebih baik dan utama dibandingkan kholifah yang Allah jadikan di muka bumi. Tatkala Allah menguji mereka dengan ilmu yang diajarkan terhadap kholifah ini, maka mereka mengakui kelemahan terhadap apa-apa yang mereka tidak ketahui, mereka mengatakan : “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al Baqarah : 32). Maka ketika itu nampaklah dihadapan mereka keutamaan nabi Adam dengan kekhususan berupa ilmu.

Ketiga, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala memberitahukan kepada para malaikat tentang keutamaan nabi Adam berupa ilmu, dan lemahnya mereka untuk mengetahui apa yang diajarkan-Nya, maka Allah berfirman kepada mereka :
“Bukankah Aku telah mengatakan kepada kalian sesungguhnya Aku Maha Mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui yang kalian tampakkan dan yang kalian sembunyikan”. (Al Baqarah : 33). Kemudian Allah mengajarkan mereka tentang ilmu.

Ilmu Allah meliputi segala yang nampak maupun yang tersembunyi, serta rahasia di langit dan di bumi. Allah mengenalkan kepada mereka tentang sifat ilmu dan keutamaan nabi-Nya.

Keempat, Bahwasanya Allah menganugerahkan pada diri Adam berupa sifat-sifat sempurna yang lebih utama dari makhluk selainnya. Allah hendak menampakkan kepada para malaikat tentang keutamaan dan kemuliaan Adam. Sehingga jelaslah bagi malaikat tentang kelebihan nabi Adam dari segi ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu sangat mulia di sisi manusia. (Al Ilmu Syarfuhu wa fadluhu 30-32)

Sesungguhnya ilmu itu akan mengangkat derajat pemiliknya di dunia dan akherat. Bukan karena kekuasaan, harta, dan bukan pula selainnya. Dan ilmu juga itu menambah kemuliaan bahkan bisa mengangkat derajat seorang hamba sahaya menjadi mulia.

Sebagaimana diriwayatkan di dalam Shohih Muslim (817) dari hadits Zuhri, dari Abi Tufail bahwasanya Nafi’ ibnu Abdil Harits mendatangi Umar ibnul Khoththob di ‘Usfan –yang mana Umar mengangkatnya (sebagai bupati) untuk penduduk Mekkah-Maka berkata umar : “Siapa yang engkau angkat menjadi bupati di negeri ini? dia (Nafi’) menjawab : “Aku telah mengangkat Ibnu Abza untuk mereka.” Lantas Umar berkata : “Siapa Ibnu Abza? Kemudian dijawab : “Dia adalah seorang budak.” Umar
berkata : “(Kenapa) engkau mengangkat seorang budak? Dijawab : “Karena dia seorang yang ahli membaca Al Qur’an dan ‘alim dalam ilmu waris. Maka Umar berkata: Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian Shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda : “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini (Al Qur’an) sekelompok kaum dan merendahkan yang selainnya.”

Berkata Al Hasan ibnu Ali kepada anaknya dan saudaranya :“Pelajarilah ilmu, karena bisa jadi (pada saat ini) kalian adalah kaum yang kecil, namun besok kalian akan menjadi pembesar kaum. Maka barang siapa yang tidak menghafal, hendaklah dia menulis.” (Al Madkhal ila As Sunan Al Kubro (632)).

Berkata Urwah bin Az Zubair kepada anaknya : “Mari, belajarlah ilmu kepadaku. Karena sesungguhnya bisa jadi (suatu saat) kalian menjadi pemimpin suatu kaum. Dulu aku adalah seorang yang kecil dan tidak seorangpun yang memandangku. Tatkala aku beranjak dewasa (dengan memiliki ilmu) maka orang-orang mulai bertanya kepadaku. Dan tidak ada sesuatu yang paling berat bagi seseorang ketika ditanya tentang perkara agamanya melainkan dia dalam keadaan bodoh (tidak berilmu).” (Bayanul Ilmi wa Fadlihi oleh Al Imam Ibnu Abdil Bar).

Diriwayatkan dari Lukman bahwa dia berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu (bergaul dengan mereka). Sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan hikmah sebagaimana menghidupkan (menyuburkan) bumi yang kering dengan siraman hujan.” (Al Madkhal ila As Sunan Al Kubro (445))

Berkata Sufyan Ats Tsaury : “Barangsiapa yang menginginkan dunia dan akherat maka hendaklah dia menuntut ilmu.”

An Nadhor bin Syumail berkata : “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan di dunia dan Akherat hendaklah dia pelajari ilmu. Cukuplah bagi seseorang sebuah kebahagiaan, tatkala dipercaya tentang perkara agama Allah, dan menjadi (perantara dakwah) antara Allah dan Hamba-Nya.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan : “Manusia yang paling tinggi kedudukannya disisi Allah adalah orang yang menjadi (perantara dakwah) antara Allah dan hamba-Nya. Mereka itu adalah para nabi dan ulama.

Masih banyak lagi perkataan para ulama yang menerangkan bahwa ilmu akan meninggikan derajat orang-orang yang menempuh jalan untuk menimbanya. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang meremehkan ilmu, maka Allah akan merendahkan kedudukannya di dunia dan akherat. Sesungguhnya orang yang merasakan tetesan ilmu, maka dia telah menggapai kebahagiaan yang hakiki. Karena ilmu merupakan anugerah yang sangat utama dan mulia.
Barangsiapa yang luput dari merasakan lezatnya ilmu maka tidak akan bermanfaat apa yang diperoleh dari selainnya. Bahkan hal tersebut bisa menggiring seseorang kepada kebinasaan dan kehinaan.

Seseorang yang menimba ilmu agama Allah bagaikan seorang nahkoda yang berlayar dengan bahtera menuju pulau abadi. Dalam menempuh perjalanannya, mau tidak mau harus berhadapan dengan berbagai rintangan yang menghadang, apakah berupa angin yang bergemuruh, ataukah ombak yang menggulung tinggi sehingga bisa menghempaskan bahtera dengan dahsyat. Namun seiring dengan itu, sang nahkoda adalah seorang yang bermental baja dan telah membekali dirinya dengan ilmu, Sehingga dia menghadapi berbagai rintangan itu dengan sabar dan hati yang tegar, tidak tergoyahkan sedikitpun walaupun ombak menerjang. Akan tetapi keinginannya tidak pernah pupus untuk melanjutkan perjalanan menuju pulau abadi tersebut.

Demikianlah bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akherat, maka hendaklah dia berlayar dengan bahtera ilmu.

Diriwayatkan dari Al Imam Ahmad dan Tirmidzi dari hadits Abu Kabsyah Al Annamaari, dia berkata :Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “Sesungguhnya di dunia ini terdapat empat golongan : “(Pertama) seorang hamba yang Allah memberikan harta dan ilmu kepadanya. Sedangkan dia takut kepada Allah dalam harta tersebut, sehingga dia menyambung tali silaturahmi, dan dia mengetahui kewajibannya terhadap harta tersebut. Maka orang seperti ini memperoleh kedudukan
yang sangat mulia di sisi Allah. (Kedua), seorang yang diberi ilmu dan tidak memiliki harta, sedangkan dia mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta maka aku akan beramal seperti amalannya fulan. walaupun dia hanya berniat saja, maka kedua-duanya memperoleh pahala yang sama. (Ketiga), Seorang yang diberi harta dan tidak diberi ilmu maka dia bakhil dalam hartanya dan dia tidak takut kepada Rabbnya, tidak menyambung tali silaturahmi serta tidak menjalankan kewajibannya terhadap harta tersebut. Maka orang ini kedudukannya lebih hina di sisi Allah. (Keempat), Seseorang yang tidak diberi harta dan tidak pula memperoleh ilmu, kemudian mengatakan : “Kalau aku punya harta maka aku akan beramal seperti amalan fulan (yang ketiga). Walaupun hanya dengan niat maka kedua-duanya memperoleh dosa yang sama.” (Hadits Shohih, dishohihkan oleh At Tirmidzi, Al Hakim dan selainnya).

Dalam Hadits diatas Nabi Shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan orang-orang yang bahagia dalam dua kategori, dan menjadikan ilmu dan amal -dengan berbagai kewajibannya-sebagai sebab diperolehnya kebahagiaan. Sedangkan orang-orang yang celaka, beliau bagi dalam dua kategori, dan menjadikan kebodohan dan pengaruhnya sebagai sebab kebinasaan.

Dalam Shohih Muslim diriwayatkan dari Abi Hurairoh radliyallahu’anhu dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda : “Jika seorang anak Adam wafat maka terputus amalannya kecuali tiga perkara ; shodaqoh jariyah (mengalir pahalanya), ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya.”

Hadits diatas menunjukkan tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu, serta besarnya pahala yang akan diraih dengan ilmu tersebut. Karena pahalanya tetap akan mengalir kepada orang yang wafat selama dia masih memperoleh manfaat dengannya. Maka seolah-olah dia masih tetap hidup dan belum terputus amalannya walaupun nyawa tidak lagi dikandung badan. Oleh karena itu seorang berilmu yang berdakwah dan menyebarkan kebaikan, jiwanya akan tetap hidup walaupun dia wafat. Amal kebajikan seorang yang berilmu ini akan selalu diingat oleh orang banyak dan jejaknya akan dijadikan panutan bagi orang-orang yang masih hidup.

Oleh karena kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat serta menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan memalingkan dari kebodohan diri-diri kita. Wallahul Muwaffiq ila sabilish Showab.


Penulis: Ust. Abdul Azis As Salafy
Aqidah, 14 - Juni - 2003, 01:35:52



Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url
sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=16